Oleh : M. Akhyar, SE
Menyimak perkembangan ekonomi negeri ini, kita dibuatnya semakin ngeri. Bahkan mata kita akan terbelalak melihat suramnya masa depan ekonomi yang di dominasi oleh kekuatan kapitalisme ekonomi. Bagaimana tidak? Negeri yang luas terbentang memiliki hamparan lahan pertanian bak permadani yang memungkinkan hampir semua jenis komoditas tumbuhan dan pertanian bisa hidup, memiliki lautan dan samudra serta garis pantai yang sangat panjang menjadikan aneka ikan bisa hidup dan berkembang, aneka tambang mulai dari emas, timah, besi, nikel bahkan minyak yang tak habis-habisnya di eksplorasi kondisi geografis anugerah Yang Maha Kuasa, gemah ripah lohjinawe.
Tapi saat kita buka mata,telinga dan hati, maka akan limbung menatap sekeliling kita. Betapa tidak, beras yang kita makan sehari-hari ternyata beras Vietnam, gula yang menghiasi di setiap warung dipasar ternyata impor dari Thailand, bumbu dapur mulai dari bawang, lada dan sebagainya ternyata impor dari china. Daging sapi juga demikian, hamper menghiasi sudut-sudut pasar.Bahkan, tempe yang katanya makanan asli Indonesia bahan bakunya ternyata dari Amerika. Inilah sebuah realita, bahwa untuk pemenuhan kebutuhan pokok saja, ketergantungan pada Negara lain masih sangat begitu besar. Bayangkan bagaimana jika tiba-tiba mereka hentikan ekspornya?
Membebaskan belenggu dengan menanam
Produksi yang menurut pengertianya adalah suatu kegiatan yang menciptakan, mengolah, mengupayakan pelayanan, menghasilkan barang dan jasa atau usaha untuk meningkatkan suatu benda agar menjadi lebih berguna bagi kebutuhan manusia, merupakan sarana terpenting dalam merealisasikan kemandirian ekonomi. Sebab bangsa yang memproduksi kebutuhan-kebutuhannya adalah yang pada realitanya sebagai bangsa mandiri dan terbebas dari belenggu ketergantungan ekonomi. Sedangkan bangsa yang hanya menjadi konsumen selalu menjadi tawanan belenggu ekonomi dan lemah kemampuannya dalam perkembangan yang dapat membebaskan dari ketergantungan terhadap dunia luar.
Marilah bertani, menanam dan terus menanam sungguh negeri ini sangat subur, digambarkan bahwa tongkat dan batu saja jadi tanaman. Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda: “Tak ada seorang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman, lalu burung memakannya atau manusia atau hewan, kecuali ia akan mendapatkan sedekah karenanya,” (HR. Al-Bukhoriy)
Bercocok tanam atau bertani dalam ajaran Agama Islam merupakan perbuatan yang mulia dan bernilai pahala secara terus menerus tidak putus-putusnya sampai hari kiamat. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahulloh dalam bukunya berjudul, “Silsilah Hadits Shahih,” menjelaskan hadits tentang bertanam pohon itu mengisyaratkan agar seorang Muslim memanfaatkan masa hidupnya untuk menanam sesuatu yang dapat dinikmati orang-orang sesudahnya, hingga pahalanya mengalir sampai hari kiamat.
Aktivitas bercocoktanam dilakukan sampai akhir hayat meskipun tidak sempat menikmati yang ditanamnya sebab sebentar lagi akan meninggal dunia. Namun, dalam ajaran Agama Islam harus terus menanam pohon karena pahala dari yang menanam tanaman itu akan terus diperoleh.
Hal ini dapat dibuktikan, berapa banyak hasil tanaman yang dinikmati orang sekarang ini umumnya yang menanam sudah meninggal dunia akan tetapi manfaat dari pohon yang ditanamnya masih dapat bisa dinikmati banyak orang.
Begitu hebatnya manfaat bercocok tanam terlihat dalam hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwatkan Abu Dawud Al-Anshari, yang artinya, “Jika engkau mendengar bahwa Dajjal telah keluar sedangkan kamu sedang menanam bibit kurma maka janganlah kamu tergesa-gesa untuk memperbaikinya, karena masih ada kehidupan setelah itu bagi manusia.”
Hadist ini menjelaskan bahwa manfaat bertanam pohon itu sangat besar, tidak saja manfaatnya besar ketika di dunia akan tetapi juga sangat besar manfaatnya di akhirat dan hari kiamat bagi yang menanam tanaman itu.
Bangsa Indonesia memberikan julukan kepada para petani sebagai orang mulia karena pekerjaan petani ini memberikan energi kehidupan kepada semua manusia. Julukan petani sebagai orang mulia sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW.
Menanam solusi Ketahanan Pangan
Ingatlah,Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan. Maka sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Syariah Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda; “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).
Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil.
Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, pencipta manusia dan seluruh alam raya. Wallahu ‘alam.