Ngaji dalam bahasa Jawa, umumnya dimaknakan dengan “maca kitab Qur’an” atau membaca Kitab Suci Al Qur’an. Sebenarnya Ngaji dari kata mengaji, kaji dalam bahasa Indonesia. Sedangkan dalam bahasa Indonesia Mengkaji dimaknakan sebagai berikut:
meng.ka.ji
Verba (kata kerja)
(1) belajar; mempelajari;
(2) memeriksa; menyelidiki; memikirkan (mempertimbangkan dan sebagainya) ; menguji; menelaah: mengkaji baik buruk suatu perkara
Maka mengkaji Al Qur’an dan As Sunnah bagi kaum muslimin tidak saja sangat penting, melainkan WAJIB. “Ngaji” menjadi identitas bagi setiap mukmin untuk dunianya dan untuk akhiratnya. Maka mementingkan ngaji, adalah mementingkan waktunya, mementingkan perhatian, tenaga,biaya bahkan apapuin yang jika diperlukan untuk terlaksananya Ngaji. Mementingkan adalahmengutamakan supaya setiap pribadi tidak lepas dari ngaji. Ngaji yang dipentingkan akan menjadi pintu pembuka jalan kehidupan selamat dan sejahtera, di dunia dan di akhirat. Konsekuensi ngaji serius adalah rutin berkelanjutan. Baik berkelanjutan melakukannya, berkelanjutan ayat yang dikaji, melanjutkan dengan pemahaman, sikap dan pengamalan hingga mendakwahkannya.
Ngaji, mempelajari Al Qur’an adalah salah satu pintu dibukakannya Petunjuk Alloh kepada manusia. Terlebih pentingnya mempelajari ilmu yang melandasi manusia dalam ibadah, ibadah sebagai tujuan diciptakannya manusia.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku”
(QS: adz-Dzariyat : 56)
Sebagian dari kita beranggapan pemahaman Islam dan pemahaman Ibadah masih ditempatkan sebagai rangkaian ritual dalam sebuah sistem kehidupan. Hal ini nampak nyata manakala melihat fenomena di masyarakat, dimana Islam dan ibadah muncul di aktivitas sholat, puasa, haji, peringatan-peringatan hari besar, ziarah ke makam-makam wali. Karenanya pemahaman ibadah yang benar, sesuai pemahaman Rasulullah SAW dan para sahabat, sangat penting merasuk dalam sanubari umat muslim, di tengah “budaya” yang dikenal sebagai ibadah.
Maka kebutuhan memurnikan ibadah, dan memurnikan sumber rujukan ketauladanan atau idola kehidupan menjadi sangat penting di dunia yang kian gemuruh dengan kesesatan ini.
Salah satu hal terpenting bagi umat Islam adalah bagaimana mengikuti kaidah yang benar dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah. Meluruskan kembali ibadah di atas keyakinan Aqidah yang lurus dan kokoh, melahirkan ibadah dalam makna yang luas sesuai tuntunan syariat, yang pada gilirannya menghasilkan masyarakat “Baldatun Toyyibatun Wa Rabbun Ghoffur” .
Ibadah secara etimologis berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai makna yang dengan berbagai rumusan, akan tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
- Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
- Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
- Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.
Makna ibadah secara lebih mudah dalam perspektif yang mudah dipahami diartikan sebagaimana tercantum dalam Buku Miftahul Jannah (KH Abdul Wahid Hasyim) sebagai :
- Gerak hati, ucapan lisan, perubahan anggota badan yang yang didorong keyakinan ghoib. Dorongan keyakinan kepada Allah maka menjadi ibadah yang benar, sebaliknya bila keyakinan kepada selain Allah maka dikatakan sebagai ibadah yang sesat.
- Patuh jiwa raga peraturan, undang-undang, adat kebiasaan. Pada pengertian kedua inipun peraturan, undang-undang dan adat kebiasaan yang sesuai dengan petunjuk Allah maka akan menjadi kepatuhan yang benar, dan sebaliknya kepatuhan kepada peraturan, undang-undang dan adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan petunjuk Allah menjadi ibadah yang sesat .
Dengan definisi ini maka esensinya setiap aktivitas lahiriah dan batiniyah manusia masuk dalam ranah ibadah manakala didorong ketundukan dan kepatuhan kepada Allah, mulai dari gerak hati, ucapan lisan hingga amal perbuatan; kepatuhan jiwa raga kepada peraturan, perundangan dan adat kebiasaan sekalipun.
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma)
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya landasan berilmu dalam beramal
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ikhlas karena Allah berimplikasi pada kepatuhan total pada perintah, kepatuhan menjauhi larangan, kepatuhan menjalankan hukum, kepatuhan menempatkan eksistensi pribadi manusia dalam ketundukan pada Allah semata. Atau meninggalkan perintah, meninggalkan hukum, dan sikap yang tidak sesuai dengan petunjuk Allah. Yang petunjuk Allah itu ada pada Kalam Allah Al Qur’anul Karim dan Sunnah Rasulullah SAW yang menyertainya.
Karenanya sangat penting sebagai umat yang beriman kita berpegang teguh pada landasan Kalamullah dalam menjalani kehidupan ini.
Allah telah menegaskan akan prinsip ketaatan kepada Allah pada Kitab Suci Al Qur’an surat Ar Ruum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (sebagai perwujudan dari) fitrah Allah (sifat-sifat Allah). (Allah) Yang telah menciptakan manusia, menurut fitrah itu (pula). Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, (yang berupa) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (hakekat semua ajaran agama-Nya ialah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, dengan menselaraskan kehidupan manusia kepada berbagai sifat-Nya dalam Asmaul Husna)” – (QS.30:30)
Allah menciptakan manusia menurut fitrah yang tetap, yang fitrah tersebut adalah
الدِّينُ الْقَيِّمُ (agama yang lurus), akan tetapi وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ , akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh kepada Alquran dan al Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124).
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm).
Maka pesan Nabi tersebut semestinya kita tangkap dengan serius untuk mengais harapan “ittiba” dengan Ikhsan kepada Rasul dan para sahabat, agar menjadi bagian dari umat Nabi yang selamat.
Firman Allah SWT :
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. An-Nisaa’ : 59)
Banyak petunjuk yang didatangkan kepada manusia dengan Kasih Sayang Allah, mengutus Rasulullah sebagai uswah. Akan tetapi Allah memperingatkan kita sebagaimana Firman Nya di surat Ar Ruum ayat 30,
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ , akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Rangkaian ayat dan hadits diatas cukup menjelaskan “Penting”-nya setiap muslim mengilmui kehidupannya, mengilmui akhiratnya, mendapatkan sumber yang benar pada sumber keyakinan, aktivitas dan cita-citanya, dengan cara mengilmuinya. Cara mengilmui yang kita artikan dengan belajar (umum) dan “Ngaji” (hakiki) menjadi identitas setiap pribadi muslim untuk mementingkan dan melakukannya, selalu… dan selalu….
Maka mari kita galakkan dalam setiap pribadi, setiap keluarga kita, Ngaji Serius, rutin berkelanjutan, dan senantiasa berbuah amal.
(Danang D. Prasetyo, Kabid Humas MPP MPAQ)